Rabu, 26 Februari 2014

BERSYUKUR SETIAP SAAT



          Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah, sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur?
Mungkin sudah lima kali sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali saya ucapkan dengan lantang bersuara dnegan orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi lebih, karena tidak saya hitung.
Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja : dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif dalam melihat segala sesuatu. PAsti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik didalam putih bersih.
          Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan (believe) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personifikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan perlu mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin ada yang berpendapat demikian. Sekali lagi bahwa ini tidak mengajarkan untuk sukses dalam semalam, namun dengan mengubah mindset (pola pikir) maka segala faktor eksternal yang sering menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri. Jangan pikirkan “pahala” yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharap nasib akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima ksih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.
“Terima Kasih” tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembutdari pada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnit yang bisa m,embantu kita semua dalam memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi , jika ada keragu-raguan dan ke-engganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi personifikasi dari sukses itu sendiri. Amin…

BERSYUKUR SETIAP SAAT



          Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah, sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur?
Mungkin sudah lima kali sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali saya ucapkan dengan lantang bersuara dnegan orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi lebih, karena tidak saya hitung.
Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja : dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif dalam melihat segala sesuatu. PAsti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik didalam putih bersih.
          Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan (believe) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personifikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan perlu mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin ada yang berpendapat demikian. Sekali lagi bahwa ini tidak mengajarkan untuk sukses dalam semalam, namun dengan mengubah mindset (pola pikir) maka segala faktor eksternal yang sering menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri. Jangan pikirkan “pahala” yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharap nasib akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima ksih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.
“Terima Kasih” tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembutdari pada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnit yang bisa m,embantu kita semua dalam memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi , jika ada keragu-raguan dan ke-engganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi personifikasi dari sukses itu sendiri. Amin…

Senin, 27 Januari 2014

PERS MASA DEMOKRASI LIBERAL

1.      Pengertian Pers

Istilah “pers” berasal dari kata persen Belanda, press Inggris, yang berarti  “menekan” yang merujuk pada alat cetak kuno yang digunakan dengan menekan secara keras untuk menghasilka  karya cetak pada lembaran kertas.

2)    Era demokrasi Liberal, tahun 1949 - 1959.

Pers Era Demokrasi Liberal

Era Demokrasi Liberal (1945 – 1959)

            Di era demokrasi liberal, landasan kemerdekaan pers adalah Konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950.  Pada pasal 19 Konstitusi RIS 1949, disebutkan  “Setiap orang bethak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”.  Kemudian pasal ini juga di cantumkan di dalam UUD Sementara 1950.

Masa Demokrasi Liberal adalah masa di antara tahun 1950 sampai 1959. Pada waktu itu Indonesia menganut system parlementer yang berpaham liberal. Pers nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati adanya kebebasan pers. Pers nasional pada umumnya mewakili aliran politik yang saling berbeda. Fungsi pers dalam masa pergerakan dan revolusi berubah menjadi pers sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.

            Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 1959.

                        Tindakan pembatasan pers terbaca dalam artikel Sekretaris Jenderal Kementerian Penerangan, Ruslan Abdulgani, antara lain….”khusus di bidang pers beberapa pembatasan perlu dilakukan atas kegiatan-kegiatan kewartawanan orang-orang asing….”

Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.


Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal
  Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
  Pembatasan Terhadap Pers
  Adanya Tindakan Antipers

Era Pers Liberal

              Dunia internasional mengakui Indonesia sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat pada Desember 1949. Surat kabar Indonesia Raya sendiri, pertama kali terbit di Jakarta, dengan nomor pertama yang tiba di tangan pembaca, berselang dua hari sesudah peristiwa penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, 27 Desember 1949. Sementara, lebih dari setahun sebelumnya yakni 29 November 1948, di Jakarta juga telah terbit harian Pedoman yang dibawahi oleh Rosihan Anwar, harian Merdeka yang telah terbit sejak 1 Oktober 1945 dan Indonesia Merdeka yang terbit sejak 4 Oktober 1945.

             Era liberal itu, ditandai dengan peningkatan tiras surat kabar di Indonesia. Tahun 1950, sebanyak 67 harian yang terbit berbahasa Indonesia bertiras sekitar 338.300 eksemplar. Kemudian pada 1957, jumlah harian di Indonesia bertambah menjadi 96 judul dengan tiras mencapai 888.950 eksemplar. Setahun sebelum pemilihan umum pertama, 1955, terdapat setidaknya 27 koran yang terbit di Jakarta. Total tiras seluruh surat kabar tersebut mencapai 320.000 eksemplar, dengan empat surat kabar besar, yakni harian Rakyat, koran organ PKI yang mempunyai tiras hingga 55.000 eksemplar, Pedoman yang berorientasi PSI dengan tiras 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia yang ditengarai oleh organ PNI dengan tiras 40.000 eksemplar dan harian Abadi yang berorientasi Masyumi dengan tiras 34.000 eksemplar.

           Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers adalah konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950.